SAMBIROTO-NGAWI.DESA.ID- Kendi merupakan jenis gerabah atau perabotan rumah tangga yang terbuat dari tanah liat, dibuat melalui proses pembakaran. Dengan ciri fisik bentuknya yang menggelembung ditengah, terdapat tangkai leher diatasnya sebagi pegangan dan lubang mengerucut (kucu) disisi lainnya, kendi berfungsi sebagai wadah/tempat air minum.
Secara umum, kendi banyak dijumpai di daerah pedesaan, khususnya dipulau jawa. Kalaupun ada dibeberapa tempat diperkotaan itupun sudah beralih dari fungsi asalnya dan hanya sekedar aksesoris/interior belaka. Kecuali Yogyakarta yang kental dengan nuansa budaya tradisional. Tak heran Yogyakarta disebut juga dengan kota budaya.
Keberadaan kendi yang kita kenal saat ini tak luput dari pengaruh peradaban hindu jauh sebelum agama islam masuk di jawa dwipa (pulau jawa). Hal itu bisa dibuktikan dengan berbagai macam prasasti maupun arsitektur bersejarah seperti candi Prambanan dan Borobudur yang diperkirakan dibangun pada abad kedelapan. Bahkan pada lambang negara kita tercantum kalimat yang dikutip dari bahasa sansekerta dalam kitab Sutasoma (abad 14) “Bhineka Tunggal Ika”.
Dikutip dari Wikipedia, kata kendi berasal dari bahasa sansekerta (dari India) yakni kundika yang artinya ‘wadah air minum’. Dalam filosofi Jawa, kendi dimaknai sebagai wadah/sumber kehidupan, dilambangkan air didalamnya yang juga sebagai sumber kehidupan manusia dan seluruh alam.
Kendi juga sering digunakan dalam ritual adat jawa, seperti prosesi kenduri adang uduk menjelang dilaksanakannya pernikahan. Harapan dan doa terselip didalamnya agar dengan niat yang suci dapat membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam perkembangan sastra Jawa kata kendi tidak hanya dipandang dari sisi asal bahasa (sansekerta), namun merupakan kerata basa atau dalam bahasa Indonesia disebut bakronim. Kerata basa atau bakronim adalah frasa yang dibentuk untuk mengartikan sebuah kata dengan menganggap kata itu sebagai akronim (*Wikipedia).
Kendi dalam kerata basa bisa dimaknai sebagai kendalining diri (pengendalian diri) dari sifat-sifat buruk manusia dalam kehidupan. Kerata basa juga sering digunakan oleh para mubaligh/ustadz untuk syiar agama Islam melalui pendekatan bahasa agar mudah dipahami oleh audien, khususnya di pulau jawa. Kendi dimaknai sebagai teken kang gedi (tongkat/patok yang besar lagi kokoh) yang digunakan untuk pegangan. Makna filosofis dibalik teken kang gedi yaitu manusia harus berpegang teguh hanya kepada Allah SWT, Yang Maha Besar lagi Maha Agung. Karena Dialah pemilik segala kehidupan, dan kepadaNyalah semua dikembalikan.